Penjual Nasi Goreng dari Karangkates

Kami semua berhenti.

“Sadar atau tidak, kita sedang menghadapi sesuatu yang aneh. Mari kita tetap bersikap biasa saja jika kita melintasinya!” perintah Dion. Aris dan Bhaskoro yang di belakangku mengangguk paham. Rupanya mereka sadar sedari tadi, hanya saja mereka harus tetap berada pada pikiran jernih dan tak terpancing dengan jebakannya.

“Jika terjadi hal tak terduga, Aris-Bhaskoro, kalian harus memastikan bahwa kalian tetap berada pada formasi! Kita harus melangsungkan rencana L!” ucap Dion.

“Rencana L?!” aku tercengang. Tak kusangka Dion tetap akan menjadikan ini rencana terakhir kami dalam situasi ini.

Kami melanjutkan perjalanan berusaha melewati cahaya kecil itu. Benar saja. Cahaya itu berasal dari lampu petromax gerobak nasi goreng. Masih sama: berwarna kuning dengan aksen hijau dan tanpa penual-tanpa pembeli. Bahan-bahan masakan tersiap sedia. Siap untuk dimasak. Atau mungkin juga siap digunakan untuk ‘mengerjai’ kami.

Kami berjalan berusaha mengabaikan itu semua. Awalnya aku tak ingin menoleh ke gerobak itu. Namun, entah mengapa aku memilih menoleh dan…

Aku melihat sesosok berwarna gelap. Terdapat tato merah di sekeliling wajah dan tubuhnya. Ia tersenyum begitu lebar ketika tahu bahwa aku menatap matanya. Tangannya yang memiliki cakar-cakar panjang digerak-gerakkannya ke atas. Aku terkejut, namun aku menarik napas dalam ketika Aris terus mendorongku untuk berjalan dan mengabaikan apapun yang kulihat.

Kembali lagi, selang beberapa meter kemudian terdengar bunyi yang awalnya membuat lapar, kini terdengar begitu suram.

tang! tang! tang!  Tidak seperti suara sebelumnya, suara ini dimulai dengan volume yang kecil. Kami mengabaikannya. Candra dan Dion yang di depan mempercepat langkahnya.

Tang! Tang! Tang!  Suara itu seperti sedang berusaha menarik perhatian kami. Kini aku mulai khawatir.

TANG! TANG! TANG! Spatula itu seperti dipukul-pukulkan dengan sangat keras. Aku menelan ludah. Mulai takut dengan apa yang  kudengar. Sementara Aris terus mendorongku. Aku menoleh ke belakang memastikan Bhaskara juga aman.

TWANGGG! TWANGGG! TWANGGG! Kini wajan dipukul-pukulkan dengan penuh amarah. Amarah karena kami mengabaikannya, padahal ‘ia’ tahu jika aku tahu bahwa ada ‘ia’ di sana.

“Jangan menoleh ke belakang terus! Sudah tugasku di baris paling belakang!” ujar Bhaskara yang melihatku mengkhawatirkannya, sementara kami masih terus mempercepat langkah kami.

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!