You are What You Eat, Mengapa Kita Perlu Memperhatikan FIlosofi Makan yang Satu Ini

Sebagai seorang mahasiswi di Yogyakarta, saya selalu berpikir, bukankah bisnis makanan cepat saji akan sangat menguntungkan? Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013-2015, setidaknya terdapat 300.000 mahasiswa dari perguruan tinggi negeri dan swasta. Rasanya, restoran cepat saji hingga warmindo di Yogyakarta tidak akan pernah sepi pengunjung, kecuali saat libur hari raya besar. Beginilah teori ‘you are what you eat’ bekerja.

 

Mahasiswa dan Makanannya

Lantas, apakah kemudian yang dikonsumsi oleh ratusan ribu mahasiswa ini? Jika bisnis makanan tidak pernah sepi, maka dapat dinalar bahwa hanya sedikit mahasiswa yang berbelanja dan memasak bahan makanannya sendiri. Dapat diketahui juga, hanya beberapa sentimeter dari kampus UKDW sudah tersedia berbagai warung yang memanjakan perut mahasiswa, belum lagi aplikasi pemesanan makanan berbasis online yang semakin memanjakan mahasiswa. Ribuan orderan diantarkan setiap harinya dari ratusan restoran cepat saji yang terdaftar sebagai mitra.

Ketika yang dikonsumsi oleh mahasiswa adalah makanan cepat saji atau yang cenderung berkalori tinggi, didukung oleh hukum kelembaman karena tidak perlu berjalan jauh untuk makan, pertanyaan besarnya adalah: sehatkah generasi ini? Generasi yang saya pun termasuk di dalamnya. Bahkan terlibat dalam sindikat malas bergerak untuk makan.

 

Dis-moi ce que tu manges…

“Dis-moi ce que tu manges, je te dirai ce que tu es. [Tell me what you eat and I will tell you what you are]”. Begitulah yang dikatakan Anthelme Brillat-Savarin, seorang pengacara dan politisi asal Perancis pada tahun 1826. Ia beranggapan bahwa kesehatan mental, emosi, dan fisik seseorang dapat dilihat dari apa yang telah dimakan. Kemudian pada tahun 1863, seorang filsuf dari Jerman, Ludwig Andreas Feurerbach mengatakan, “Der Mensch ist, was er ißt. [A man is what he eats]”. Istilah ini kemudian lebih ringkas dan populer pada 1942 dengan, “You are what you eat”, berkat Victor Lindlahr, seorang ahli gizi berkebangsaan Inggris, yang berdasarkan risetnya menyatakan bahwa 90% penyakit timbul dari bahan makanan yang murahan.

Ketiga tokoh, yang dapat dikatakan filsuf dan ahli kesehatan ini, memiliki pandangan serupa. Bukan tanpa alasan, pada masanya, mereka menghadapi situasi politik dan kesehatan masyarakat yang cenderung labil. Ditambah lagi perkembangan ilmu medis yang belum berkembang pesat seperti saat ini, membuat mereka memikirkan upaya preventif (dengan gaya hidup sehat), dibandingkan mengkonsumsi obat atau bahkan harus menanti ajal karena obat yang belum ditemukan. Kondisi kesehatan masyarakat yang kurang baik (dan terutama diderita oleh kaum pria) ini kemudian juga memicu ketidakstabilan politik dalam negara.

 

Mengapa filosofi ini kemudian tampak begitu relevan dengan kesehatan?

Setiap organisme di dunia ini melakukan homeostasis, yaitu mekanisme  pengaturan kesetimbangan dinamis dalam tubuh secara konstan. Kesetimbangan didapatkan dari berbagai aspek, baik internal maupun eksternal. Faktanya, makanan yang dikonsumsi oleh seseorang memengaruhi proses homeostasis: akankah menjadi lebih mudah atau justru menjadi lebih berat. Nutrisi pada makanan penting bagi tumbuh kembang dan pemeliharaan fungsi tubuh. Setiap makanan yang masuk ke dalam tubuh menjadi pembawa ‘pesan’ bagi metabolisme tubuh. Apabila ‘pesan’ yang dibawa makanan salah, maka proses metabolisme tubuh akan melambat atau bahkan berhenti sama sekali. Ketika mekanisme homeostasis ini tidak lagi berlangsung dengan baik (karena terlalu berat), maka tubuh akan menjadi mudah lelah dan sakit. Ketidaksetimbangan dalam tubuh kemudian memengaruhi kondisi mental, emosi, dan fisik seseorang. Belum lagi dengan beban kerja yang berat, depresi, dan pola tidur tak teratur tanpa adanya aktivitas olah raga. Jika terus-menerus dibiarkan dan bahkan dibiasakan, kondisi ini mengancam kesehatan seseorang secara keseluruhan di masa mendatang.

 

You are what you eat

Jelas sudah, bahwa filosofi “You are what you eat” ini menjadi sangat penting diperhatikan, terutama bagi mahasiswa yang hidup di masa kini. Mahasiswa adalah salah satu kategori yang rentan terhadap ancaman penyakit serius di masa mendatang karena ketidakmampuan untuk menyeimbangkan pola hidup sehat dengan makanan sehari-hari. Mengenali jenis makanan yang baik atau buruk bagi kesehatan sangatlah penting.

Berdasarkan Guidelines for Regulating Food High in Fat, Sugar and Salt (HFSS) yang dirilis WHO, sangat penting untuk menakar apa yang kita makan sehari-hari. Dibanding melihat makanan sebagai musuh, bukankah jauh lebih baik memandang makanan sebagai ‘obat’ bagi tubuh. Dengan memandangnya demikian, kita mampu mengontrol jumlah konsumsi makanan yang aman bagi tubuh. Sebisa mungkin mengkonsumsi sayur mayur dan buah-buahan secukupnya dan menghindari gorengan ataupun junk food lainnya. Tidak ada kata ‘sebanyak-banyaknya’ dalam panduan ini, melainkan ‘secukupnya’. Ini menandakan bahwa apapun yang kita makan haruslah sesuai dengan kebutuhan kalori dan nutrisi sehari-hari. Segala sesuatu yang berlebihan tidak pernah baik bagi tubuh.

Mari kita ingat perkataan Hippocrates semasa hidup, “Let your food be your medicine, and your medicine be your food.” Memang benar, bahwa obat terbaik bagi kesehatan tubuh adalah makanan sehat yang mencukupi nutrisi kita secara seimbang. Jadi, pilihlah yang akan anda makan, dan makan yang anda pilih!

Baca juga:

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!