When Jupiter Meets Saturn

Tampak wajah ketua OSIS memerah sesaat lalu dengan cepat ia menepis tangan Dika. “Apaan sih? Kalau nggak mau diatur ya jangan sekolah di sini! Lagian kamu itu anggota OSIS juga! Masa nggak bisa kasih teladan?”

“Bla bla bla bla… Selalu cerewet kayak ibunya.” ujarnya sambil lalu. Melangkah keluar dan mengabaikan Yura.

Yura tampak kesal karena dibantah oleh Dika. Tapi bagaimana lagi. Mantranya tak akan pernah mempan terhadap Dika. Yura mulai membanting-banting laporanku karena terlalu kesal dengan sikap Dika.

“Yu-yu- Ra! Anu..! Aduh! Itu laporanku! Jangan sampai rusak..!” ujarku mengingatkan.

via GIPHY

Yura berhenti memukul-mukulkan laporanku sejenak. Lalu ia menatapku. Tapi kali ini dengan tatapan amat sangat kesal. Dan benar saja dugaanku, dengan cepat ia memukul-mukulkan laporanku ke bahuku.

“Kenapa sih? Uh! Kenapa. Uh! Si Dika. Uh! Ngeselin- BANGET!!!” dan tepat di kata terakhir ia memukulkan laporanku dengan keras. Kulihat sekilas wajahnya yang sedang kesal. Memang benar, orang cantik bebas melakukan apapun. Aku tak bisa kesal karena sudah luluh dengan wajah menggemaskannya itu.

Sesudah Yura puas memukulku dengan laporanku (yang untungnya nggak rusak), aku berjalan ke ruang kesenian untuk menghubungi koordinator klub. AKu ingin memastikan bahwa koordinator klub sudah siap untuk menyeleksi band siapa saja yang akan tampil pada pensi nanti. Sementara aku berjalan ke sana melalui halaman belakang sekolah, tiba-tiba aku mendengar suara gadis.

“Tapi Dik. Aku rela kok ngelakuin apa aja buat kamu!” ucap gadis itu merengek kepada seseorang yang sudah pasti aku tahu siapa itu.

“Nggak Lit. Lebih baik kita akhiri ini sekarang.” balasnya dingin.

“Emang kenapa? Aku kurang apa?” tanya suara gadis itu memaksa mencari jawaban.

“Banyak.” jawabnya dingin lagi. Seketika itu juga suasana menjadi hening sesaat. Kemudian percakapan berlanjut.

“Tapi aku kan sudah bilang kalau aku bakal nglakuin apapun buat kamu Dik?” dan kemudian tak ada jawaban. Kudengar langkah kaki mendekat ke arahku.

“DIK! JAWAB AKU!” teriak gadis itu.

“Aku bosan. Sudah ya!” jawab DIka dengan amat-sangat-cool. Bad-ass abis.

Dika keluar dari balik gedung dengan wajah yang sedikit terkejut menatapku. Lalu kemudian berjalan mengabaikanku sambil tersenyum. Aku tak pernah mengerti apa yang ada di pikiran Dika tentang gadis-gadis yang dikencaninya. Aku melanjutkan perjalananku ke ruang kesenian. Kulihat seorang gadis yang tengah menangis tersedu-sedu. Aku tidak asing dengan gadis itu. Itu Lita, anak kelas XI-IPS 2. Lumayan cantik. Tapi hanya lumayan.

Kudengar rumor bahwa ia yang tengah menjadi ‘korban’ cinta Dika beberapa waktu lalu. Tak kusangka akan secepat ini berakhirnya. Baru tiga hari. Antara miris atau ingin tertawa karena komedi aneh ini. Belum apa-apa sudah ingin melakukan apapun untuk Dika. Aku sedikit memahami ‘cita rasa’ Dika dalam berkencan sepertinya.

Baca juga:

 

Sore hari kami melakukan rapat persiapan pensi yang keempat. Tinggal tiga bulan lagi hingga akhirnya pensi ini dilaksanakan. Sayangnya, pensi ini masih kekurangan dana untuk mengadakan pensi ini. Dari terget anggaran, hanya 30% yang baru tercapai.

“Itu karena kamu terlalu idealis!” debat Dika kepada Yura yang menyampaikan catatan dana.

“Maaf? Memang kamu menyumbang apa di sini?” tanya Yura ketus. Sepertinya perang dunia akan terjadi sesaat lagi.

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!