The Loveable Wrong Girl

“Sejak kecil aku mengenalnya…” sore itu menjadi sore yang sendu dalam hidupku. Rintik hujan masih membasahi tempat pakir di luar sana. Tetes hujan masih menggelincir jatuh dari atap kafe. Talang air juga masih mengalirkan sisa-sisa derasnya hujan sore tadi. Sahabatku duduk di hadapanku sambil meyeruput kopinya.

“Apa masalahmu?” kini ia menyalakan koreknya. Menyulut rokoknya, lalu menghisapnya.

“Ia sangat layak dicintai.” ujarku.

“Maka cintailah sepantasnya!” jawab sahabatku itu setelah sebelumnya mengebulkan asap tebal dengan napasnya.

“Aku tak bisa…” jawabku sedih.

“Ada apa denganmu? Apakah kekasihmu tidak cukup mencintaimu hingga akhirnya kamu mencintai.. siapa namanya? Kau belum mengisahkannya padaku. Itu sahabat kecilmu?” protes sahabatku.

“Maka biarkanlah aku bercerita terlebih dahulu.” jawabku ketus.

Sahabatku kini kembali menghisap rokoknya. Lalu mengebulkannya ke arah wajahku. Tanda bahwa ia juga kesal karena aku bertele-tele saat ingin bercerita. “Baiklah, lanjutkan..”

“Ia selalu memandangku dengan cara yang berbeda. Ia menyayangiku dengan hal-hal sederhana.

“Ia berbicara dengan bahasa yang tak pernah dituturkan kekasihku. Tuturnya begitu lembut. Perhatiannya begitu tulus. Aku tak pernah bisa menolak jika ia memintaku menyertakannya ke manapun aku pergi.

“Ia begitu memperhatikan setiap detail pada tubuhku, pakaianku. Jika ada yang kotor ia akan segera membersihkannya.

“Ia mengingat setiap detail yang kami lalui di masa lalu. Setiap tahun ia selalu mengisahkannya dengan antusias dan memintaku mengulang kenangan yang serupa bersamanya.

“Ia selalu memperhatikan setiap gelagatku. Ia selalu menanyakan bilamana aku belum makan atau beristirahat.

“Ia selalu bercerita banyak hal tentang kehidupannya. Ia menanyakan kepadaku saran-saranku selayaknya aku tahu segalanya, walaupun sebenarnya pun tidak demikian.

“Ia menyelimutiku kala aku kedinginan. Tak jarang ia memelukku dari belakang. Bahkan ia memelukku di setiap saat jika ada kesempatan.”

“Tunggu dulu! Bahkan kau tidur bersamanya? Seberapa dalam kah cintanya padamu?” tanya sahabatku setelah tersedak oleh asap rokok yang ia hisap.

“Ya. Kami tidur bersama. Namun kami hanya tidur.” jelasku jujur apa adanya.

“Lantas, jika kamu tahu bahwa ia begitu mencintaimu, mengapa kau tak meninggalkan kekasihmu dan bersamanya saja?” tanya sahabatku.

“Ia tak mencintaku. Ia menyayangiku.” tuturku bingung.

“Lantas apa yang membuatnya begitu berbeda menurutmu?” tanyanya keheranan.

“Ia sepupuku…”

Baca juga:

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!