Teko Tanah Liat Kesayangan Ayah

Saat itu seperti sore-sore biasanya. Ayahku duduk di teras sambil menikmati secangkir teh di teko kesayangannya. Aku yang masih kecil kegirangan bermain bola yang baru saja dibelikan ibu. Sebuah bola plastik murah yang akan dengan mudaa kutendang ke mana saja.

Karena saat itu aku baru pertama kali bermain bola, aku terlalu bersemangat menendangnya dan tidak mampu mengontrol ke mana arah tendangannku. Pada tendangan itu, bolaku melesat dengan cepat ke arah ayahku, lalu kemudian menukik dan menghantam teko kesayangan ayahku. PRANG!

Suara itu terdengar begitu keras karena teko menghantam jendela ruang tamu dan saat itu juga teko pecah menjadi berkeping-keping. Teh panas yang ada di dalamnya langsung menyiprat ke mana-mana termasuk ke badan ayahku sehingga ayahku melonjak terkejut karena terkena teh panas.  Ayahku berdiri dan sedikit mengaduh.

“Ayah! Maafkan aku ayah!” aku berlari menuju ayahku. Hatiku was-was karena aku takut telah melukai ayahku dan yang paling fatal: aku mengahncurkan teko kesayangannya.

Belum sampai aku di hadapan ayah, ayahku berseru, “Awas!”

Ludahku tertelan. Langkahku terhenti. Apakah ayah mengancamku?

“Hati-hati, jangan berlari. Kalau kamu tersandung akan berbahaya. Di sini banyak pecahan dari teko ayah.” begitu ujar ayahku, seolah pecahnya teko bukanlah hal mengecewakan baginya.

“Ayah,, maafkan aku…” ucapku lagi kini sambil menangis.

“Masuklah ke dalam. Minta lap, sapu, dan cikrak pada ibumu.” perintahnya.

Aku bergegas masuk ke dalam. Seperti dugaanku, ibu langsung bertanya ada apa di depan, lalu aku menjelaskan dengan cepat kesalahanku dan kemudian meminta lap, sapu, dan cikrak pada ibu. Kemudian aku membawanya ke depan.

Kulihat ayahku tengah memunguti pecahan-pecahan kecil tekonya.

“Ini ayah.” ucapku sambil memberikan semua peralatan yang dibutuhkan.

“Hati-hati nak! Banyak pecahan di sini. Bisa tolong ayah untuk mengambili pecahan yang besar? Perhatikan tanganmu.” ujarnya. Langsung saja aku menurutinya tanpa menjawab,

“Ayah, aku minta maaf.” pintaku untuk yang ketiga kallinya.

Ayah kini hanya menghela napas panjang. Kurasa ayah sedih kehilangan teko kesayangannya.

“Lihatlah nak..” ucap ayahku terhenti karena mengambil pecahan teko yang terselip di bawah meja teras.

“Iya ayah, aku telah memecahkan teko kesayangan ayah.” lanjutku sok tahu bahwa kalimat ayah akan dilanjutkan dengan frase itu. Ayahku lalu menatapku. Aku sudah siap untuk dimarahi.

“Lihatlah nak.. betapa kebahagiaan di dunia ini tak ada yang benar-benar abadi.” ucapnya tanpa mengoreksi kalimatku.

“Teko ini suatu saat pun akan pecah, dengan atau tanpa perbuatanmu.” lanjutnya.

“Betapa kebahagiaan manusia begitu rapuh jika kita hanya terikat pada suatu barang duniawi. Ketika itu rusak, hilangkah kebahagiaan kita?” ucapnya dengan bijak.

“Ayo masuk ke dalam. Ikut ayah!” perintah ayah ketika kami sudah membersihkan kekcauan di teras.

Ayah kemudian membuang pecahan teko ke tempat sampah. Setelah itu ia mencuci tangannya. Kemudian menggeledah isi lemari di dapur kami. Ia kemudian mengambil sebuah teko. Teko yang sama persis dengan yang kupecahkan tadi. Dibiarkannnya pintu lemari itu terbuka.

Latest articles

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!