Raktak Kota Keramik – Petualangan Awan bagian IV

‘Raktak Kota Keramik’ adalah bagian dari kisah petualangan Awan. Kamu memasuki episode keempat. Penasaran dengan apa yang akan dialami Awan kali ini? Yuk baca sekarang! Buat kamu yang belum membaca episode sebelumnya, klik di sini: 

———————–

“Dari kota Keramik ke kota Krissan berapa pak?” tanya Awan di loket pembelian tiket ‘Raktak’-sebuah bus ramah lingkungan-yang dikeluarkan pemerintah; bus yang berhiaskan warna-warni lukisan para seniman terbaik di negeri Nusa Tamara. Tenaga pendorongnya pun sangat murah dan berasal dari kekayaan Nusa Tamara yang tak kan pernah habis: air laut! Raktak juga punya kemampuan spesial, ia mampu menyeberangi lautan langsung jika harus ke pulau tetangga.

“Kamu harus berganti Raktak setidaknya di tujuh terminal yang menyeberangi 3 pulau. Kira-kira itu bisa menghabiskan sekitar 19.000 Rubi.”

“Astaga! Semahal itu?!” teriak Awan karena ia tidak mengira bahwa ongkos Raktak sangatlah mahal. “Aku sudah menjual ‘ICS’-ku untuk pergi ke kota Krissan! Bahkan itu tidak cukup?!”

“Tapi nak, lagi pula sementara ini terminal di kota Krissan sedang tutup untuk waktu yang tidak dapat ditentukan.” lanjut petugas.

Awan berpikir keras. Ia tak mau petualangannya terhambat hanya karena masalah ini.

“Maaf nak? Kalau tidak ada lagi yang dapat saya bantu, bisa gantian dengan yang lain?” ujar petugas sehingga Awan akhirnya keluar dari antrian.

Awan mengomel dalam hati, ‘Bagaimana bisa kendaraan yang menggunakan air laut memasang tarif semahal itu?!’ tanpa menyadari bahwa biaya operasional untuk menyeberangi 3 pulau sebenarnya memang mahal. Ia juga tidak mempertimbangkan paket makanan dan penginapan yang termasuk di dalamnya. Ditambah lagi pemerintah Nusa Tara yang begitu menghargai karya seni di Raktak memberikan imbalan yang tidak sedikit kepada para artisnya.

‘Butuh menabung hingga setahun penuh kalau aku mau mendapatkan 19.000 Rubi. ICS yang kujual hanya memberiku 12.000 Rubi. Kukira itu sudah lebih dari cukup.’

ICS (Independent Cyber Simulator) adalah permainan yang populer di seluruh kalangan di negeri Nusa Tara. Seperti namanya, permainan ini menyajikan triliunan database ‘perintah-program-siap pakai’ untuk membangun simulasi realita lain di dunia server.

Proses membangun realita tidak menggunakan perangkat kuno seperti PC, tapi langsung menggunakan otak yang terhubung pada chip kecil yang ditempelkan di dahi. Cukup aktifkan chip, pejamkan mata, dan ketika membuka mata, mereka akan sampai pada realita server. Di sana mereka bebas membangun apapun, entah itu restoran, bank, situasi abad pertengahan, bahkan menciptakan pemerintahan maya.

Sebenarnya mereka tidak benar-benar membuka mata ketika chip aktif. Dengan chip itu frekuenzi gelombang otak diatur sedemikian rupa supaya mereka berada di antara kesadaran dan alam bawah sadar. Jadi tubuh tetap diam di tempat, sementara pikiran mereka berajalan-jalan. Untuk antisipasi, chip memberikan gambaran langsung ruang lingkup di sekitar pemain. Jaga-jaga jika orang di rumah meminta bantuan tiba-tiba.

Realita yang dibangun dan jejaring yang saling terkoneksi membuat database permainan ini diminati oleh banyak kolektor. Makin rumit dan tersistem realita yang dibuat pemain, makin mahal pula harga databasenya.

Awan berhasil membuat sebuah simulasi realita di mana terdapat dua golongan masyarakat, yaitu masyarakat darat dan masyarakat lautan. Sebuah realita kompleks yang mahal harganya. Tapi itu saja terbukti tidak cukup untuk membiayai perjalanannya. Jika ia harus membeli perangkat ICS lagi, waktunya akan lama karena membutuhkan administrasi keamanan yang ketat dan lagi pula, perangkat ICS kini semakin mahal harganya.

“Hai nak! Kudengar kamu ingin ke kota Krissan?” tanya seseorang tiba-tiba memecah lamunan Awan.

“Aku punya tumpangan murah! Kamu mau?” tawarnya.

Awan melihat sebuah kendaraan butut yang digerakkan dengan listrik. Bentuknya lebih kecil dari Raktak. Rodanya enam. Mampu menampung hingga 16 orang di dalamnya. Tidak artistik. Dan tentu saja, tidak dapat berlaku amphibi.

“Berapa?” tanya Awan antusias.

“Cukup 1100 Rubi!”

Bersambung ke 

Baca juga:

Aresta Nia
Aresta Nia
Penulis. Story teller. Suka musik dan puisi. Aktif menulis sejak 2015.

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!