Mengantar Ibu ke manapun Ia Mau Pergi

Pras adalah lulusan baru dari sebuah kampus. Dia adalah mahasiswa yang berprestasi dan aktif semasa kuliah. Tapi, setelah ia lulus, ia tak lagi bisa begitu bebas untuk berorganisasi. Bukan karena ia tak mau ataupun tak ada wadah, tapi karena ia harus selalu ada di rumah untuk siap kapanpun mengantar ibu ke manapun ia mau pergi.

Pras pada akhirnya menyadari, IPK yang tinggi pun tak menjamin kamu akan langsung bekerjsa setelah lulus kuliah. DI atas langit masih ada langit. Masih ada ratusan ribu pemuda berbakat di luar sana yang juga bersaing untuk mendapatkan pekerjaan.

Baca juga:

 

Sementara itu di rumah, Ibu Pras sudah terbiasa ‘dimanja’. Sejak dulu ayah Pras lah yang kemana-mana mengantar Ibunya. Tapi sejak ayahnya meninggal, ibu Pras selalu menggantungkan aktivitasnya pada Pras.

“Sudah siap belum? Ayo berangkat! Uti sudah nunggu!” teriak ibu kepada Pras.

“Bentar.” Pras menjawab cuek. Ia begitu jengkel karena sedikit-sedikit ibunya minta diantar kesana kemari sehingga Pras tak dapat leluasa memperisapkan berbagai macam hal untuk melamar pekerjaan.

Pras selalu giat untuk memasukkan lamaran ke berbagai perusahaan. Beberapa kali ia lolos sampai tahap interview, tapi pada akhirnya ia harus selalu gagal karena tidak dapat menjawab tiga pertanyaan ang menurut dia fatal.

Teringat saat ia harus interview via Skype dengan salah satu startup yang sudah besar di Indonesia. Seharusnya itu menjadi hal mudah bagi Pras karena ia pada tahun sebelumnya lolos menjadi salah satu student ambassadornya. Entah bukan rezeki atau bagaimana. Suara Pras seperti tercekik ketika ia mendapatkan pertanyaan ini dari user:

“Saat ini kegiatanmu apa Pras? Apakah aktif dalam organisasi atau event yang berkaitan dengan profesi yang kamu lamar?”. Pras bingung, haruskah ia menjawab bahwa kegiatannya sehari-hari adalah mengantar ibunya ke pasar, ke rumah mbah, dan ditambah satu lagi: membantu ibu mengurus persiapan pernikahan kakaknya.

Pada akhirnya ia menjawab dengan jawaban yang sebenarnya terlarang di dunia interview. Yang menandakan bahwa ia adalah orang yang sama seperti kebanyakan orang. Tak inovatif, dan cenderung hanya mengikuti sebuah peraturan. Ia menjawab bahwa ia tak mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaannya itu, tapi ia berjualan menggunakan startup tersebut. Ia juga mengatakan bahwa ia pun pribadi yang adaptif, mudah bekerja sama dengan orang lain, dan cepat belajar. Sungguh itu adalah jawaban bunuh diri. Siapapun tahu jika seorang calon pencari kerja menjawab dengan jawaban itu, sudah jelas ia tak akan diterima bekerja di perusahaan tersebut.

Pras dilema. Dirinya ingin sekali aktif di organisasi yang menunjang perkembangan dirinya, tapi ia juga merasa kasihan kalau ibunya hanya terus berada di rumah. Sampai suatu ketika, Pras benar-benar frustasi karena ia gagal masuk di perusahaan yang paling ia impikan setelah sebelumnya bertubi-tubi terus mencoba dan gagal.

Suatu ketika ibunya memintanya mengantar pergi.

“Ayo le, antar ibu ke Bu Bambang. Bu Bambang sakit. Kasihan nggak ada yang nengokin.” ajak ibu.

Pras yang begitu muak langsung saja membentak Ibunya, “ibu itu ya! Dikit-dikit minta dianter! Dikit-dikit pergi ngurusin orang lain! Aku itu bolak-balik ditolak kerja! Ibu tau aku selalu gagal di mana? Tiap kali ditanya sekarang sibuk apa, aku nggak bisa njawab! Wong cuma disibukkan sama nganter Ibu ke sana..! Nganter Ibu ke sini…! Aku itu pingin ndang kerja bu!”

Mendengar itu ibu Pras begitu terkejut dan bersedih hati. Ia lalu berkata, “Maafkan ibu.. Kakakmu sebentar lagi menikah, dan seharusnya Ibu sadar kalau kamu juga harus punya pekerjaan. Ibu cuma ingin merasa hidup, nggak cuma terkurung di rumah.”

Pras yang masih merasa marah pergi meninggalkan ibunya. Ia berjalan-jalan ke Beringharjo untuk melepas penat. Di sana ia melihat seorang anak yang menginginkan batik yang bagus, tapi mengurungkan keinginannya karena tahu uang ibunya tinggal sedikit. Tapi ibu itu tetap meyakinkan anak itu untuk mengambil batik yang diinginkan. Ibu itu lalu tertawa pada pedagang batik, “Untuk anak itu apa to yang nggak?”. Pras lalu tercenung dan teringat akan kenangan yang sama persis dengan yang dialaminya dulu. Pras lalu menangis dan meninggalkan Beringharjo lalu menelepon temannya, Wijaya.

Di rumah Wijaya, Pras berkeluh kesah mengenai masalahnya. Lalu sembari bercerita, Pras melihat cangkir dan tatagan(lepek)nya dengan lukisan yang begitu indah. Wijaya menjelaskan bahwa cangkir dan tatagan itu hadiah dari Ibu Pras dan dibuat sendiri. Pras lalu teringat bahwa ibunya senang melukis. Setelah itu ia lalu pulang dan menemui ibunya.

Di rumah, Pras menemukan ibunya duduk sambil menggambar pemandangan di sebuah kertas. Saat itulah Pras minta maaf kepada ibunya. Kemudian Pras mengajak ibunya untuk membuat banyak cangkir dan piring yang dilukis lalu menjualnya bersama secara online.

Akhirnya Pras dan Ibunya sukses menjual perabotan keramik dengan lukisan indah. Pras berhasil memenangkan hati ibunya sekaligus sukses memperoleh penghasilan dengan berwirausaha. Pras akhirnya tetap mampu mengantar ibunya ke manapun ia mau pergi dan sukses bersama.

Baca juga:

 

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!