Kemudian, Ke mana Semua Rasa Itu Pergi?

“Permisi ya?” ucapnya sambil berjinjit tak ingin mengotori lantai yang baru saja kupel.

Aku mengangguk. Tak berkata. Pun tak kubalas senyumnya. Lalu kusingkirkan ember itu dari depan pintu klinik.

Berbeda dengan teman-temanku. Aku jauh lebih memikirkan hal lain, seperti tugas apa saja yang harus aku selesaikan hari ini.

Tapi siapa sangka, bahwa itu menjadi pertemuan pertama kami yang tak pernah kami lupakan. Dan menjadi bahan olokan satu sama lain. Ketika kami menjadi terlalu dekat.

Baca juga:

 

Saat itu lebaran. Itulah hari di mana kami menjadi dekat satu sama lain. Biasanya teman-teman akan berkunjung ke rumah warga setempat untuk mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri. Tapi tahun ini, aku kebagian tugas untuk membantu ibu-ibu di dapur memasak. Bersama tujuh kawanku, kami membagi tugas. Ada yang memotongi sayuran, meracik bumbu, menyiapkan perabotan makan, membersihkan ruang makan, dan lain sebagainya.

Aku kebagian untuk membantu memotongi sayuran dan meracik bumbu. Aku terkejut bahwa ibu-ibu harus memotong ratusan ikat sayur untuk makanan kami sehari-hari. Tapi, lebih mengejutkan ketika gadis yang seharusnya bertugas jaga klinik kini duduk di sebelahku dan menjadi rekanku untuk memotongi sayur yang siap untuk dimasak bagi ratusan laki-laki di sini.

“Halo Yud!” salamnya sambil menepuk punggungku.

Aku terkejut. Kami tak pernah berkenalan sebelumnya. Tapi bagaimana bisa ia mengetahui namaku?

“Ah, mbak Inggit!” ucapku sambil tersenyum kecil padanya. Entah mengapa aku tak begitu ingin bersikap ramah padanya. Mungkin naluriku sejak awal sudah memperingatkanku.

“Jadi, kamu yang nemenin mbak motong-motong sayur nih?” tanyanya.

“Iya mbak. Ngomong-ngomong kok kamu tahu namaku?” tanyaku membalas.

“Lho, kamu kan terkenal Yud! Ibu-ibu di sini mana yang nggak nyeritain kamu?” ujarnya sambil kemudian mengambil pisau. “Yang dipotong ini ya bu?” tanyanya kepada seorang ibu yang bertugas siang itu. “Ya kan bu? Yudha kan terkenal ya?” ujarnya sambil tersenyum menggoda. Ibu yang bertugas itu, yang sebenarnya juga sudah cukup dekat denganku, terkikih kecil.

“Haiya cah bagus kok nggak dikenal.” ibu itu menimpali dengan terkikih.

Aku masih keheranan. Betapa supelnya mbak Inggit ini. Kuhitung baru 3 bulan ia ada di asrama ini dan sudah menngobrol dengan ibu-ibu seperti itu ibunya sendiri. Sementara aku, butuh waktu 2 tahun lebih supaya bisa dekat dengan keluarga ibu-ibu di dapur dan klinik.

“Mbok kamu itu murah senyum Yud sama aku! Aku tu heran lho kok kamu lebih sering bertampang serius setiap kali aku lewat di depanmu.” ucapnya lalu kemudian duduk di sampingku dengan dekat. Amat sangat dekat.

Entah bagaimana perasaanku saat itu. Jantungku berdegup begitu kencang. Tak biasanya aku berdebar-debar jika dekat dengan seorang gadis, terutama yang jauh lebih tua dibandingkan aku. Sepertinya bergaul dengan banyak orang adalah bakatnya. Pada akhirnya aku nyaman dengan dirinya. Kami mengobrol dan akhirnya kuketahui bahwa usianya 7 tahun lebih tua dariku.

Baca juga:

 

Sejak saat itu, jika ada waktu luang aku mencuri kesempatan untuk bertemu dengannya dan sekedar mengobrol. Entah mengapa ia menjadi orang yang mampu menghiburku di tengah keseriusanku menjalani hidup berasrama. Tak seperti kawanku yang lain yang memilih mencari gadis yang seumuran atau lebih muda, aku justru semakin senang mendekatkan diriku pada Mbak Inggit.

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!